rumah limas

Rumh Limas memiliki beberapa ruangan, diantaranya adalah ruang tidur yang terdiri dari pangken keputren (kamar anak perempuan), pangken keputran (kamar anak laki-laki), ruang anak menantu, ruang kepala keluarga, ruang keluarga dan dapur. Pangkeng Penganten, (bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik dikanan maupun dikiri. Untuk memasuki bilik atau Pangkeng ini, kita harus melalui dampar (kotak) yang terletak di pintu yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Pada bagian belakang terdiri dari Dapur atau pawon, Ruang Pelimpahan, dan Ruang Hias/Toilet. Pembagian ruang secara fisik berfungsi batasan aktivitas yang berlangsung di rumah berdasarkan tingkat keprivasiannya.
Rumah limas dibangun berbentuk panggung dengan disangga oleh sedikitnya 32 tiang penyangga, dengan ketinggian mencapai 3 meter. Untuk naik ke rumah limas dipergunakan tangga yang biasanya terdapat di sebelah kiri dan kanan bangunan. Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung. Makna filosofis dibalik pagar kayu itu adalah untuk menahansupaya anak perempuan tidak keluar rumah.
Rumah limas kebanyakan dibangun dengan luas sekitar 400 sampai 1000 meter persegi. Selain di Sumatera Selatan, rumah limas juga terdapat di Johor, Selangor dan Terengganu Malaysia. Kebanyakan rumah limas Johor memiliki kolong yang dipagar yang fungsinya untuk tempat menyimpan barang. Rumah limas seperti ini biasanya dikenal sebagai rumah baju kurung.

GAMBAR RUMAH ADAT

  1. ovinsi Nanggro Aceh Darussalam - Rumah Adat Krong Bade

    Rumah Adat Krong Bade
  2. Provinsi Sumatera Utara - Rumah Adat Bolon

    Rumah Adat Bolon
  3. Provinsi Sumatera Barat - Rumah Adat Gadang

    Rumah Adat Gadang
  4. Provinsi Riau - Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar

    Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar
  5. Provinsi Kepulauan Riau - Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar

    Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar
  6. Provinsi Jambi - Rumah Adat Panjang

    Rumah Adat Panjang
  7. Provinsi Sumatera Selatan - Rumah Adat Limas

    Rumah Adat Limas
  8. Provinsi Bangka Belitung - Rumah Adat Rakit dan Limas

    Rumah Adat Rakit
  9. Provinsi Bengkulu - Rumah Adat Rakyat

    Rumah Adat Rakyat
  10. Provinsi Lampung - Rumah Adat Nowou Sesat

    Rumah Adat Nowou Sesat

Mengenal Rumah Adat Sumatera Barat: Rumah Gadang

Mengenal Rumah Adat Sumatera Barat: Rumah Gadang

Rumah Adat Sumatera Barat
Jelajah pesona wisata Indonesia tak akan pernah habis Anda kunjungi. Kemolekan nusantara tersebar merata dari Sabang hingga ke tanah Merauke. Salah satu destinasi vakansi yang penting untuk Anda sambangi adalah Sumatera Barat. Provinsi dengan ibu kota Padang ini menyimpan banyak hal menyenangkan untuk Anda. Tak hanya kuliner yang menggoyang lidah, keunikan rumah adat Sumatera Barat ini juga tak boleh Anda lewatkan. Arsitekturnya yang unik nan rumit akan menyihir mata Anda. Sudah tahu apa rumah adat provinsi dengan yang didominasi etnis Minangkabau ini?

Sihir Rumah Gadang

Istilah “Rumah Gadang” boleh jadi familiar di telinga Anda. Bangunan yang terkadang juga ditulis Rumah Godang ini didaulat sebagai rumah adat Sumatera Barat. Ia merupakan rumah tradisional etnis Minangkabau dan tersebar merata di seluruh wilayah Sumatera Barat, mengingat wilayah ini memang didominasi suku yang beragama islam tersebut. Nama lain dari rumah ini adalah Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjung.

Rumah Gadang ini mampu menyihir mata Anda dengan keapikan arsitekturnya. Signatur yang paling menyita perhatian adalah bagian atapnya yang meruncing serupa tanduk kerbau. Atap ini seolah bersusun sehingga ujung tajam tersebut bisa lebih dari 4 dalam satu rumah. Dahulu kala, atap Rumah Gadang ini terbuat dari ijuk selayaknya rumah tradisional lainnya. Namun kemajuan teknologi membuat rumah Gadang ikut bersolek. Sekarang kita bisa menjumpai rumah Gadang dengan atap dari seng.

Secara umum, rumah gadang dibangun dengan bentuk persegi empat. Badan rumah dibagi ke dalam dua bagian utama yakni muka dan belakang. Pada bagian depan, lazimnya terdapat banyak ukiran ornament dengan motif umum seperti bunga, akar, daun serta bidang genjang dan persegi. Adapun bagian luar belakang rumah Gadang dilapisi dengan memakai bahan bambu yang dibelah. Rumah cantik ini dibangin dengan menggunakan tiang-tiang yang panjang. badan rumah seolah ditinggikan ke atas namun uniknya tidak mudah goyah karena guncangan hebat sekalipun. Rumah gadang ini memiliki satu tangga yang terletak pada bagian depan rumah. Sementara itu, ruangan yang berfungsi sebagai dapur dibangun terpisah, letaknya biasanya di belakang rumah.

Seperti rumah adat lainnya, setiap bagian dari rumah Gadang juga menyimpan makna filosofis yang erat kaitannya dengan budaya dan agama masyarakat setempat.

PENGERTIAN RUMAH ADAT

 
Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun,[3] namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian, muka dan belakang. Bagian depan dari Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang[1]. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.
Karena wilayah Minangkabau rawan gempa sejak dulunya karena berada di pegunungan Bukit Barisan, maka arsitektur Rumah Gadang juga memperhitungkan desain yang tahan gempa. Seluruh tiang Rumah Gadang tidak ditanamkan ke dalam tanah, tapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar. Seluruh sambungan setiap pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai paku, tapi memakai pasak yang juga terbuat dari kayu. Ketika gempa terjadi Rumah Gadang akan bergeser secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tonggak atau tiang berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang dihubungkan oleh pasak kayu juga bergerak secara fleksibel, sehingga Rumah Gadang yang dibangun secara benar akan tahan terhadap gempa.
Rumah Adat Siwaluh Jabu, Batak Karo Rumah adat Siwaluh Jabu begitu biasa disebut, merupakan rumah adat Batak Karo yang hingga kini keberadaannya masih dapat kita temukan. Rumah ini secara arsitekur memiliki gaya yang sangat artistik. Dindingnya dibuat miring, atapnya berbentuk segitiga bertingkat tiga, dan di setiap puncak segitiga tersebut dihiasi dengan kepala kerbau perlambang kesejahteraan. Rumah adat Siwaluh Jabu ini umumnya berukuran sangat besar. Ia biasa dihuni oleh sekitar 8 keluarga adat. Masing-masing keluarga dalam rumah tersebut umumnya sudah mempunyai perannya sendiri-sendiri. Ada yang berperan sebagai pemimpin, pekerja, juru masak, dan lain sebagainya. Berikut adalah penampilan fisik dari rumah adat di Sumatera Utara yang satu ini. Rumah Adat Sumatera Utara

Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/08/rumah-adat-sumatera-utara-batak-gambar.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.

RUMAH ADAT NTT

Mbaru Niang 

Mbaru Niang adalah rumah adat yang berada di Wae Rebo, yaitu sebuah desa yang letaknya berada di pedalaman dan diarungi oleh pegunungan dan panorama hutan tropis lebat di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. 


Rumah adat Mbaru Niang bentuknya seperti cone yang dibalik, yaitu kerucut menjulur ke bawah dan hampir menyentuh tanah. Strukturnya setinggi 5 lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Atap rumah adat Nusa Tenggara Timur ini diisi oleh daun lontar yang ditutupi ijuk atau ilalang dan kerangka atap terbuat dari bambu sedangkan pilar rumah menggunakan kayu worok yang besar dan kuat. Hebatnya rumah adat ini tidak memakai paku tetapi menggunakan tali rotan untuk mengikat konstruksi bangunan. Meski bangunannya tidak terlalu besar, setiap mbaru niang bisa diisi oleh enam sampai delapan keluarga.




Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda. Secara berurutan tersusun dari lutur, lobo, lentar, lempa rae, dan terakhir hekang kode. Tingkat pertama disebut lutur atau tenda, biasa digunakan sebagai tempat hunian dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua adalah lobo atau loteng yang berfungsi untuk menaruh bahan makanan dan barang sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar untuk menaruh benih-benih tanaman pangan yang digunakan untuk bercocok tanam, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. Tingkat keempat disebut lempa rae yaitu ruangan untuk stok pangan apabila terjadi gagal panen atau hasil panen kurang berhasil akibat kekeringan, dan tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat menaruh sesajian persembahan kepada leluhur.




Mbaru niang di Wae Rebo merupakan rumah adat warisan nenek moyang ratusan tahun yang lalu yang diturunkan terus menerus kepada keturunannya. Banyak Mbaru Niang yang mengalami kerusakan karena untuk memperbaikinya membutuhkan biaya yang banyak. Sampai akhirnya seorang arsitek dari Jakarta, yaitu Yoris Antar, dan kawan – kawannya yang sangat mengagumi rumah adat ini mengadakan gerakan untuk mengumpulkan dana bagi pelestarian dan perbaikan kembali rumah adat ini sehingga kini sudah berdiri 7 rumah kerucut mbaru niang yang nyaman untuk ditinggali dan bagus untuk dijadikan wisata.



 

2. Sao Ria Tenda Bewa Moni Koanara

Sao Ria Tenda Bewa Moni Koanara merupakan rumah adat yang berada di Desa Koanara, Kelimutu, Nusa Tenggara Timur. Seperti Mbaru Niang, Rumah adat ini juga memiliki karakteristik dan bentuk yang unik dan juga menarik karena desain atap yang khas yang terbuat dari ilalang dan hampir menyentuh tanah. 


 
Ada tiga jenis rumah Sao Ria Tenda Bewa Moni Koanara, yaitu rumah baku, rumah tinggal dan lumbung padi. Rumah baku digunakan untuk menyimpan dan melestarikan tulang tengkorak milik leluhur dan sudah ada 13 keturunan yang tulang tengkoraknya dilestarikan di simpan di rumah ini.  Kemudian rumah baku dengan atap yang seluruhnya menyentuh tanah berfungsi sebagai rumah penyimpanan hasil panen sawah. Sedangkan rumah dengan kepala kerbau yang disangkutkan di depan pintu rumah merupakan rumah hunian.


Sao Ria Tenda Bewa Moni Koanara yang berfungsi sebagai lumbung padi berbentuk panggung dan persegi empat. Pada bagian dasar rumah terdapat  jejeran tumpukan batu yang membuat rumah lebih tinggi dari tanah. Dari jauh, rumah ini seperti tidak memiliki pintu masuk.


Rumah Adat Papua Barat

Rumah Adat Papua Barat


Papua Barat atau yang dahulu dipanggil Irian Jaya Barat (Irjabar) adalah sebuah provinsi di Negara Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Papua dan beribukota Manokwari. Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, bagian selatan dengan Laut Seram dan bagian tenggara berbatasan dengan provinsi Papua.

 
Rumah adat Papua Barat didirikan oleh suku Arfak, yaitu suku utama di Papua Barat. Rumah adat ini disebut juga Mod Aki Aksa (Lgkojei) yang artinya rumah kaki seribu. Rumah adat Papua yaitu Honai juga terdapat pada Papua Barat, akan tetapi penduduk di Papua Barat lebih mengandalkan hasil laut dibandingkan bertani, sehingga penduduknya mendirikan rumah adat mereka berupa rumah panggung yang identik sebagai kehidupan nelayan. Rumah adat ini terdapat di Manokwari namun saat ini jumlahnya semakin berkurang, terutama di kampung-kampung yang tersebar di pinggiran pedalaman di bagian tengah pegunungan Arfak.
 




Rumah adat Papua Barat ini terdiri dari satu lantai yang terbuat dari kayu dan atapnya dibuat dari dedaunan sagu atau jerami dan lantainya disokong oleh tiang – tiang pilar-pilar penyokong. Biasanya rumah ini tertutup tanpa ada jendela dan hanya memiliki pintu depan dan pintu belakang. Untuk menuju pintu masuk harus menggunakan tangga kayu yang sederhana.




Rumah adat Papua Barat disebut rumah kaki seribu karena memiliki keunikan tersendiri yaitu jumlah tiang atau pilar penyangga atau penyokong rumah yang sangat banyak.. Tiang penyokong ini berada di  seluruh ruang di bawah rumah. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu yang kokoh dengan tinggi yang beranekaragam, baik tinggi maupun pendek. Rumah yang mendekati pedalaman, tiang-tiangnya semakin tinggi hingga kadang setinggi empat meter. Menurut adat dan kepercayaan masyarakat disana, tiang – tiang ini diukir serta dilengkapi patung nenek moyang sebagai penahan kekuatan jahat ilmu hitam dan untuk melindungi diri dari musuh dan ancaman orang-orang yang berniat jahat. 

RUMAH ADAT NTB

Dalam Loka Samawa



Rumah istana Sumbawa atau Dalam Loka adalah rumah adat atau istana yang didirikan dan dikembangkan oleh pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III di Pulau Sumbawa, tepatnya di  kota Sumbawa Besar. Terdapat pengertian dari Dalam Loka itu sendiri, yaitu kata “Dalam yang memiliki arti istana atau rumah yang ada di dalam istana dan “Loka yang memiliki arti dunia atau juga tempat. Sehingga dapat disimpulkan pengertian Dalam Loka merupakan istana atau tempat hunian raja. Namun, penggunaan rumah adat Dalam Loka saat ini difungsikan untuk menyimpan benda atau artifak bersejarah milik Kabupaten Sumbawa.

Dalam Loka disusun oleh bangunan kembar yang disokong atau ditahan oleh 98 pilar kayu jati dan 1 pilar pendek (pilar guru) yang dibuat dari pohon cabe. Jumlah dari seluruh tiang penyokong adalah 99 tiang yang mewakili 99 sifat Allah dalam Al-Qur’an (Asmaul Husna). Di Dalam Loka ini terdapat ukiran-ukiran yang merupakan ukiran khas daerah Pulau Sumbawa atau disebut lutuengal yang digunakan untuk ornamen pada kayu bangunannya. Ukiran khas Pulau Sumbawa ini biasanya motif bunga dan juga motif daun-daunan.


Istana dalam loka dibangun mengarah ke selatan yaitu ke Bukit Sampar dan alun-alun kota dan hanya memiliki satu pintu masuk utama melalui tangga depan dan pintu samping melalui tangga kecil. Tangga depan yang dimiliki Dalam Loka tidak seperti tangga pada umumnya, tangga ini berupa lantai kayu yang dimiringkan hingga menyentuh tanah dan lantai kayu tersebut ditempeli oleh potongan kayu sebagai penahan pijakan  Bala Rea atau graha besar adalah dua bangunan identik yang terdapat di dalam rumah adat Dalam Loka yang setiap bangunannya memiliki fungsi.


Pada bagian dalam bangunan terdapat beberapa ruangan yaitu, Lunyuk Agung, Lunyuk Mas, Ruang Dalam, dan Ruang Sidang. Lunyuk Agung berada pada bagian depan bangunan yang difungsikan untuk ruang bermusyawarah, pernikahan, pertemuan atau acara kerajaan. Lunyuk Mas adalah ruangan utama untuk permaisuri, istri para menteri dan staf penting kerajaan saat  upacara adat. Ruang Dalam sebelah barat disekat oleh kelambu yang digunakan untuk tempat sholat, di sebelah utara adalah kamar tidur permaisuri. Ruang Dalam sebelah timur memiliki empat kamar khusus untuk keturunan raja yang sudah menikah dan di sebelah utara adalah kamar pengasuh rumah tangga istana. Ruang sidang terletak di bagian belakang Bala Rea, namun pada malam harinya digunakan oleh para dayang sebagai kamar tidur. Sedangkan kamar mandi terletak di luar ruangan utama yang memanjang dari kamar raja hingga kamar permaisuri.



Dan yang terakhir adalah Bala Bulo yang memiliki dua tingkat dan berada di samping Lunyuk Mas. Tingkat pertama adalah tempat permainan keturunan raja dan tingkat kedua adalah tempat permaisuri dan istri para bangsawan saat menyaksikan pertunjukan di lapangan istana. Anak tangga menuju tingkat dua berjumlah 17 anak tangga. Jumlah tersebut mewakili  17 rukun sholat. Di luar komplek ini terdapat kebun istana (kaban alas), gapura atau tembok istana (bala buko), rumah jam (bala jam) dan tempat untuk lonceng istana. Lonceng pada istana ini ukurannya sangat besar dan berasal dari Belanda. Pada masa itu, lonceng ini dibunyikan oleh seorang petugas setiap waktu, sehingga seluruh penduduk dapat mengetahui waktu saat itu.

RUMAH ADAT MALUKU UTARA

1. Rumah Adat Sasadu



Rumah adat Sasadu merupakan rumah adat yang diwariskan oleh leluhur suku Sahu di Pulau Halmahera Barat, Maluku UtaraSasadu berasal dari kata Sasa – Sela – Lamo atau besar dan Tatadus – Tadus atau berlindung, sehingga Sasadu memiliki arti berlindung di rumah besar. Rumah adat Sasadu memiliki bentuk yang simpel atau sederhana yaitu berupa rumah panggung yang dibangun menggunakan bahan kayu sebagai pilar atau tiang penyangga yang berasal dari batang pohon sagu, anyaman daun sagu sebagai penutup atap rumah adat dan memiliki dua pijakan tangga terletak di sisi kiri dan kanan.

Pada rumah adat Sasadu terdapat dua ujung atap kayu yang diukir dan memiliki bentuk haluan dan buritan perahu yang terdapat pada kedua ujung atap. Bubungan tersebut melambangkan perahu yang sedang berlayar karena suku Sahu merupakan suku yang suka berlayar mengarungi samudera. Selain itu pada bubungan atapnya digantungkan dua buah bulatan yang dibungkus ijuk. Bulatan itu menggambarkan simbol dua kekuatan supranatural yaitu kekuatan untuk membinasakan dan kekuatan untuk melindungi.


Rumah adat Sasadu tidak memiliki pintu dan sisi-sisinya tidak memiliki dinding penutup. Untuk memasuki rumah adat Sasadu terdapat 6 jalan masuk sekaligus jalan keluar.  Setiap jalan diperuntukkan untuk orang-orang tertentu. Dua jalan masuk dan keluar khusus untuk perempuan, dua jalan khusus untuk lelaki, dua jalan khusus untuk para tamu.

Rumah Adat Maluku

Maluku di dunia internasional kerap disebut sebagai Moluccas dan Molukken merupakan provinsi tertua di Indonesia. Maluku beribukota Ambon yang terletak di bagian selatan dari Pulau Ambon di jazirah Leitimur. Maluku berbentuk kepulauan yang memiliki 632 pulau dan berada di wilayah Indonesia Bagian Timur dan berbatasan dengan beberapa wilayah yaitu berbatasan dengan Maluku Utara, Papua Barat dan laut Seram di sebelah utara, Laut Maluku, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara di sebelah barat, Laut Banda, Laut Arafuru, Timor Leste, dan Nusa Tenggara Timur di sebelah selatan, serta Laut Aru dan Papua di sebelah timur.

Rumah adat Maluku disebut rumah adat Baileo atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah balai. Pengambilan nama balai atau Baileo ini disesuaikan karena rumah adat Baileo ini dibangun dan digunakan oleh penduduk setempat sebagai tempat pertemuan dan bermusyawarah dengan dewan adat penduduk setempat dan bukan sebagai hunian penduduk. Selain itu rumah adat Baileo ini juga digunakan untuk menggelar acara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda antik dan keramat seperti benda pusaka dan senjata peninggalan leluhur.



Rumah adat Baileo berbentuk rumah panggung yang besar dan memiliki ketinggian 1 sampai 2 meter. Atapnya terbuat dari rumbia dan rumah adat Baileo ini tidak memiliki sekat luar atau dinding dan jendela. Bangunan ini banyak menggunakan kayu –kayu yang dipenuhi ukiran unik serta dihiasi berbagai macam ornament khas Maluku. Rumah adat Maluku ini bukan hanya sekedar balai pertemuan biasa, pembangunannya berlandaskan prinsip, symbol, dan kepercayaan penduduk pada masa tersebut.



Pembangunan rumah adat Maluku atau rumah adat Baileo ini sebagai rumah panggung atau lebih tinggi dari tanah memiliki kepercayaan bahwa roh – roh leluhur memiliki posisi yang lebih tinggi atau diatas manusia. Secara prinsip rumah adat Baileo dibuat lebih tinggi agar penduduk setempat dapat melihat bahwa proses musyawarah dilakukan dari luar ke dalam dan dari bawah ke atas. Sedangkan secara fungsinya, kondisi rumah adat Baileo yang tidak memiliki sekat luar memudahkan binatang liar untuk memasuki dan merusak bagian dalam rumah adat sehingga dengan dibuat lebih tinggi dapat meminimalisir masuknya binatang. Namun, saat ini terdapat beberapa rumah adat Baileo yang dibangun tanpa tiang penyangga bawah melainkan menggunakan batu dan semen.

RUMAH ADAT GORONTALO

Rumah Adat Dulohupa

Rumah adat Dulohupa ini letaknya di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Rumah Dulohupa juga disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo oleh penduduk Gorontalo. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung yang badannya terbuat dari papan dan struktur atap bernuansa daerah Gorontalo. Selain itu rumah adat Dulohupa juga dilengkapi pilar-pilar kayu sebagai hiasan serta lambang dari rumah adat Gorontalo dan memiliki dua tangga yang berada di bagian kiri dan kanan rumah adat yang menjadi symbol tangga adat atau disebut tolitihu.

Rumah adat Dulohupa dibangun berupa rumah panggung. Hal ini dilakukan sebagai penggambaran dari badan manusia yaitu atap menggambarkan kepala, badan rumah menggambarkan badan, dan  pilar penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain itu bentuk rumah panggung juga dipilih untuk menghindari terjadinya banjir yang kala itu sering terjadi. 

Rumah adat Dulohupa di Gorontalo dibangun berlandaskan prinsip-prinsip dan kepercayaan. Bagian atap rumah adat Dulohupa terbuat dari jerami terbaik dan berbentuk seperti pelana yaitu atap segitiga bersusun dua yang menggambarkan syariat dan adat penduduk Gorontalo. Atap bagian atas menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap Tuhan yang Maha Esa dan agama merupakan kepentingan utama di atas yang lainnya. Sedangkan atap bagian bawah menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap adat istiadat serta budaya. Pada bagian puncak atap dahulu terdapat dua batang kayu yang dipasang bersilang pada puncak atap atau disebut Talapua.  Penduduk Gorontalo percaya bahwa Talapua dapat menangkal roh – roh jahat, namun seiring perkembangan kepercayaan islami, sekarang Talapua sudah tidak di pasang lagi.

Pada bagian dinding depan terdapat Tange lo bu’ulu yang tergantung di samping pintu masuk rumah adat Dulohupa. Tange lo bu’ulu ini menggambarkan kesejahteraan penduduk gorontalo. Sedangkan bagian dalam rumah adat Dulohupa bergaya terbuka karena tidak banyak terdapat sekat. Selain itu di dalam rumah adat terdapat anjungan yang dikhususkan sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarga kerajaan.


Diberdayakan oleh Blogger.